Beberapa kali theUnlearn mendapatkan pertanyaan dari #suratpembaca tentang kejenuhan di tempat kerja. Baik dari yang kurang dari 1 tahun sampai sudah ada lebih dari 12 tahun. Semua pertanyaannya sama, “Trus, gue mesti ngapain? Berhenti atau terus meneruskan?”
Interesting. Ini membuat diri gue pun mikir ke hari-hari dimana gue merasakan bosan, baik dalam pekerjaan, pertemanan, maupun aktivitas hari-hari.
Memahami jenuh & bosan.
Rasanya gue belum pernah bertemu dengan orang yang tidak pernah merasakan jenuh. Jenuh itu bentuk emosi juga, jadi natural untuk kita rasakan. Dan rasa/emosi itu ada untuk memberikan kita tanda dalam hidup. Tanda seperti apa? Apa yang sebenarnya jenuh mencoba komunikasikan ke diri kita?
Bosan = Lack of interest.
Menurut definisi, bosan itu adalah: Tidak tertarik terhadap sesuatu (lack of interest). Bisa terjadi karena memang tidak suka, tidak menemukan persamaan, tidak paham, ataupun tidak mau mencoba melihat hal yang menarik dari hal tersebut.
Pertama kali mendengarkan improv jazz, gak ngerti sama sekali, gak bisa menemukan apa yang menarik dari hal tersebut — sampai akhirnya menemukan hal-hal yang menarik sampai so fascinated.
Bosan = Lack of engagement.
Merasa terdiskoneksi saja. Gak nyambung. Suatu waktu, saya pernah dikelilingi orang-orang yang sedang ngobrolin topik yang saya gak ngerti atau gak interest aja. Seperti tempat shopping terbaru yang ada di Eropa. Atau stylist terbaik di Singapura. Gak nyambung. Sudah mencoba untuk lebih tertarik dan paham, tetapi karena akhirnya memang beda bawaan ya… akhirnya jenuh. Gue gak bisa connect dengan suatu momen, suatu aktivitas, seseorang. Seperti akhir dari sebuah relationship, karena sudah mengkoneksikan diri.
Bosan = Lack of challenge or Too much of a challenge.
Di Forbes.com sempat membahas bosan, yang mengatakan bahwa kebanyakan kita bosan bukan karena kurangnya aktivitas/pekerjaan, tetapi karena kurang di-challenge. Dan kebalikannya, kalau aktivitas itu terlalu sulit, akhirnya kita frustrasi dan bosan juga.
Jadi, bosan itu baik atau buruk?
Sesuatu itu ada pasti ada manfaatnya. Jadi gue yakin banget bosan itu ada manfaatnya.
Dalam sebuah sharing session, Mark Applebaum, sebagai seorang musisi malah mengatakan bosan itu adalah bibit dari inovasi dan kreatifitas. Wow. Karena dia bosan akhirnya dia menjadi lebih kreatif. Jadi sebenarnya kita butuh merasa bosan, karena itu bisa menjadi trigger kita untuk semakin kreatif (if we want to take the challenge/opportunity). Sayangnya, sering kali, kita malah takut merasa bosan, yang akhirnya sibuk menghibur diri dengan main games, nonton tv, ngintipin social media — seperti mencoba mengobati bosan dengan melakukan banyak hal yang sekedar men’distract’ otak. Karena hanya sekedar ‘distraction’ akhirnya kita sibuk, tetapi tidak produktif. Akhirnya performance dan kebahagiaan menurun. Yikes.
Menghidupkan bosan?
Apa itu? Ini terms yang dipakai oleh Genevieve Bell di sharingnya di TEDxSydney yang mengatakan bahwa ada value tersembunyi ketika kita bosan. Ketika kita membiarkan diri kita me-RASA bosan, otak kita sebenarnya sangat aktif, tetapi di bagian yang berbeda dibandingkan ketika kita sedang tidak bosan. Yang akhirnya, otak kita malah menghasilkan hal-hal yang berbeda dari biasanya. Malah sebaiknya, ketika kita bosan, kita melakukan hal-hal yang UNSTRUCTURED – tidak ada strukturnya, dan ini menghasilkan inovasi dan kreatifitas. Karena sebenarnya, ketika bosan, otak kita me-reset itself. Interesting kan?
So, bosan bisa membunuh atau menghidupkan kita. What’s our choice?
Tetapi, sekarang masuk praktisnya dulu deh. Kalau dari aktivitas sehari-hari….. apa sebenarnya yang membuat bosan dan tidak?
Gue teringat jenuh ketika:
Gak nyambung. Yang paling sederhana kalau teman sudah mulai ngomongin politik. Karena emang gak ngerti ya. Bosen deh.
Gak bisa-bisa. Main games seperti pokopang, angry bird. Nyoba-nyoba terus. Tetapi gak berhasil-berhasil. Stress sendiri. Akhirnya jenuh.
Gak berasa tumbuh atau bermanfaat. Mengerjakan hal yang mirip, dan berasa gak ‘naik kelas’ dan seperti apapun yang gue lakukan juga gak membuahkan perbedaan yang berarti.
Gue gak jenuh ketika:
Merasa terapresiasi dan nyaman. Makan di restoran yang sama berkali-kali, walau pesen makanan dan minuman yang sama juga setiap kalinya. Karena makanannya emang enak banget, dan suka banget dengan orang-orang di sana, suasananyapun nyaman.
Merasa ada manfaat untuk orang lain. Walau akhirnya memakan waktu lebih banyak dari yang diharapkan, tetapi gue suka aja ngerjainnya, dan hasilnya berasa banget berguna untuk orang lain.
Ada elemen ‘diri gue’ dalam hal yang gue kerjakan. Mengerjakan laporan yang mestinya membosankan banget, tetapi gue ubah dengan cara gue, desain gue, hasil pikiran gue sehingga gue memasukkan ‘me’ di dalam laporan itu. Dan eh, si bos pun suka.
——–
Ternyata, menganalisa kejenuhan diri, gue menjadi semakin paham bahwa jenuh itu terjadi ketika:
1. Tidak menemukan makna atau dampak positif dari aktivitas tsb.
Teringat pernah ngobrol dengan seorang bapak yang pekerjaannya membersihkan pekarangan sebuah hotel kecil. Setiap hari, 3x sehari, tanggung jawabnya adalah memastikan seluruh pekarangan itu bersih dan nyaman untuk tamu. Diapun terlihat sangat menikmati pekerjaannya, karena menyapu sambil bersiul, lalu menyapa tulus ketika saya lewat. Ketika saya ngobrol-ngobrol dengan beliau dan bertanya kok bisa mengerjakan pekerjaan yang sama tetapi gak bosan, jawabannya…
“Kadang sih merasa bosan mbak, apalagi kalau pekarangan belum kotor-kotor banget. Bingung mau ngerjain apa. Tapi kalau bukan saya yang membersihkan, lalu siapa? Kasihan kan tamu-tamu kalau tempatnya tidak nyaman. Kalau tamu tidak nyaman, nanti tidak balik lagi, dan kalau gak balik lagi, berarti saya bisa kehilangan pekerjaan juga, lalu kasihan keluarga saya.”
Kadang kita suka lupa, bahwa aktivitas sekecil apapun yang kita lakukan itu bisa berdampak besar untuk orang lain. Tetapi ego kita membuat kita hanya memikirkan diri kita sendiri (Apa yang kita lakukan), bukan orang lain (Manfaat apa yang bisa saya berikan ke orang lain dari aktivitas ini).
Apa manfaatnya untuk diri kita sendiri? Bagi gue, tersembunyi dalam setiap aktivitas adalah kesempatan untuk mengasah diri sendiri. Coba deh, tanyakan:
Apa yang sedang gue latih dengan mengerjakan hal ini?
Bagaimana ilmu dan pengetahuan gue bertambah dengan mengerjakan hal ini?
Bagaimana gue bisa semakin ‘naik kelas’ karena aktivitas ini?
Kesempatan apa yang tersembunyi dalam aktivitas ini?
Quote:“If you know the why, you can live any how.” – Friedrich Nietzsche
What’s my WHY? Yang artinya adalah… Kalau kita tahu ALASAN MENGAPA kita melakukan sesuatu, kita bisa menghadapi apapun itu. Jadi, maybe salah satu kita alasan kita jenuh karena kita lupa alasan (‘the WHY’) kita melakukan hal tersebut. Atau, alasannya kurang kuat, dan tidak sesuai dengan values kita (#4).
Jadi, akhirnya gue semakin sering bertanya ke diri sendiri, “Why am I doing this again?” Apa makna yang gue dapatkan dari melakukan hal ini? Dan ternyata ini yang sering di sebut dengan purpose atau internal motivation.
Apa yang menarik dari hal ini? Mencoba untuk terus mencari hal-hal yang menarik dari suatu hal, even mendengarkan orang ngomong politik. Bisa saja yang menarik bahasa tubuh dan gesturnya dia. Atau seberapa sering dia jelek-jelekin orang lain. Atau seberapa sering dia menkontradiksi dirinya. Atau, seberapa poin-poinnya masuk akal atau tidak. Karena akan ada SELALU hal yang menarik dalam apapun — tergantung kita mau melihatnya atau tidak.
2. Belum bisa memberikan kontribusi/value dalam suatu hal.
Cuma sekedar melakukan tugas/task.
Gue suka kasihan sama cowok-cowok yang mengantar pasangannya belanja di mall. Mereka terlihat berjejer di depan toko, menunggu pasangannya, sambil bengong, dan tugasnya cuma 2, yaitu sabar dan bayar. Hehehe. I wonder, mereka bosan gak ya? Apa malah senang?
Gue aja sering bosen kalau nemenin temen gue shopping. Karena menunggu itu bisa menjadi aktivitas yang paling membosankan. Akhirnya yang bisa gue lakukan adalah berperan menjadi stylist. Daripada gue duduk bengong bete sendiri, gue mulai ngliatin barang-barang satu persatu yang mana yang paling cocok dan menarik untuk temen gue ini. Alhasil dia seneng banget karena gue bisa menemukan barang-barang yang unik yang dia tidak sangka cocok buat dia. Dan karena gue merasa berguna, gue pun ikut senang
Boredom = Zero Value. Di sini gue belajar, sering kali kita bosan karena kita hanya sekedar mengerjakan tugas; melakukan apa yang disuruh. Walau sebenarnya banyak ruang untuk kita berkreasi dan memberikan kontribusi. So maybe, we are bored because we don’t produce anything of value. Kita bosan, karena kita tidak bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat; karena kita tidak bisa menunjukkan nilai dari diri kita sendiri. Yikes.
Quote:“The world is a great mirror. It reflects back to you what you are. The world is what you are.”
-Thomas Drier-
So, kalau dunia/pekerjaan gue membosankan, itu karena gue orang yang membosankan. *Jleb*
Being engaged with life, with what we do. Bagi gue, bosan itu ketika kita tidak berpartisipasi dalam hidup, dan hanya sekedar menjadi penonton. Apalagi sibuk nontonin dan ngomentarin hidup orang lain
3. Tidak mendapatkan apresiasi atas effort maupun hasil yang sesuai ekspektasi.
Psikologi manusia memang interesting, karena kita akan semakin melakukan sesuatu yang memberikan kita reward positif. Dan salah satu reward yang paling efektif adalah apresiasi, baik via kata-kata maupun materi. Motivasi semakin meningkat ketika kita merasa diapresiasi atas hal yang kita lakukan. Ini yang biasa disebut dengan external motivation.
Ketika kita merasa kurang diapresiasi oleh lingkungan (ataupun atasan) kita menjadi semakin terdemotivasi. Ini hal yang normal. Contohnya, ketika kamu punya kabar gembira, lalu share ke teman dekat dan reaksi dari teman kamu hanya datar saja trus malah mengalihkan pembicaraan, next time kamu akan lebih males lagi cerita ke orang tersebut.
Lalu gimana? Ngeluh? Complain? Akhirnya kita ikutan tidak apresiatif dong. Sama aja.
Always ask: What can I do now? Terlepas kita tidak mendapatkan apresiasi dari lingkungan, apakah kita tetap bisa mendapatkan sesuatu dari pengalaman ini? Apakah kita mendapatkan network baru? Pengalaman baru? Ilmu baru? Naik kelas? Opportunity baru? Jadi, kembali ke #1. Sejauh mana kita akan HANYA termovasi dari hal-hal external ketika kita juga bisa termotivasi dari hal-hal internal.
4. Aktivitas yang dilakukan tidak mencerminkan values diri.
Membohongi diri sendiri.
Ada kemungkinan juga kita bosan karena kita sedang membohongi diri sendiri. Aktivitas yang kita lakukan tidak sesuai dengan nilai-nilai diri, prinsip, karakter maupun passion. Lebih sulit bagi kita menikmati sesuatu yang bertentangan dengan diri kita sendiri.
Ini mengingatkan gue dengan beberapa pernikahan yang terjadi bukan karena cinta, tetapi karena usia, materi, prestis maupun image. Ataupun juga bekerja di Bank karena terlihat keren, bukan karena percaya dengan misi yang dilakukan bank tersebut.
Ini menjadi sulit ketika:
1. Kita tidak tahu values diri kita sendiri
2. Kita juga tidak tahu values dari aktivitas/organisasi tempat kita bekerja
Akhirnya, kita kembali ke #2, yaitu sekedar bekerja. Tetapi tidak menjadikan pekerjaan/aktivitas tersebut menjadi platform/media untuk memperkuat values kita — dan values yang mana? Ini yang menyebabkan dis-engagement.
Kalau bertanya ke diri sendiri: Apa 5 values yang ingin kamu perkuat sekarang? Apakah itu hardworking, patience, abundance mentality, adversity, compassion atau yang lainnya? Bagaimana pekerjaanmu bisa mencerminkan dan memperkuat values tersebut?
—
Memaknai bosan. Karena kita tidak pernah terlepas dari rasa bosan. Baik itu bosan dengan pekerjaan, hubungan, pertemanan maupun hidup. Memang jauh lebih mudah menyalahkan orang lain, situasi dan aktivitas ketika kita bosan — baik dari orang lain yang membosankan, lingkungan yang tidak pernah berubah ataupun aktivitas yang itu-itu saja. Padahal, di dalam bosan itu kita bisa lebih memahami diri sendiri — kesempatan untuk memperkuat diri.
Bosan itu pilihan. Jadi setiap kali kita bosan, bisa tanya dulu: Kamu memilih bosan atau tidak? Kalau ya, silahkan istirahat sampai bosan merasa bosan Tetapi kalau tidak ingin bosan lagi, what can you do?
0 komentar:
Posting Komentar